Sintren, Kesenian ini dulu akrab bagi masyarakat sepanjang pesisir pantura barat Jawa tengah bahkan sampai ke wilayah Jawa Barat. Kini keberadaan kesenian rakyat tersebut sulit sekali dicari, keberadaanya kini semakin terpinggirkan dan seperti hilang begitu saja tanpa ada yang melestarikan kendati harus menjelajahi Pekalongan dan Pemalang, Sintren sudah hilang jejaknya.
Sebenarnya dari mana asal kesenian sintren dan harus kemana untuk mencarinya, pertanyaan itu akan sulit terjawab hingga akhirnya muncul sekelompok seniman sintrenyang berusaha menghidupkanya kembali.
Untuk kembali mempopulerkanya, kelompok ini harus berkeliling dari satu Desa ke Desa lainya. Cara ini ditempuh demi membangun kembali ingatan generasi tua yang dulu sempat menikmati kejayaan seni tradisional yang melintasi ingatan sejarah di dalam kepala mereka sekaligus menyambungkannya dengan generasi yang hilang saat sintren perlahan redup pamornya dan benar-benar hilang saat generasi muda sekarang tidak tahu sama sekali tentang sintren dan hanya bisa membuka lembaran buku-buku tua atau menjelajah dunia maya untuk sekedar mengetahui literasi dari jejak nostalgia sintren itu sendiri.
Selain itu, pegiat seni sintren ini melakukanya juga karena alasan yang klise, menggunakan kesenian sintren ini untuk mengamen yang hasilnya untuk menghidupi kru pelaku kelompok seni sintren. Klise memang, tapi itu masih lebih baik karena negeri ini sudah tidak ramah bagi hidupnya seni rakyat.
Negara hanya peduli pelestarianya melalui diskusi-diskusi, buku-buku dan dokumentasi agar termuat dalam arsip-arsip yang memenuhi khasanah ilmu serta memenuhi rak-rak perpustakaan sekolah dan perpustakaan negara.
Negara sudah lupa caranya melestarikan kesenian tersebut secara langsung, melalui para pelaku seninya, mengupayakan ke berlangsungan seni itu sendiri supaya tetap eksis dengan memperbanyak ruang-ruang pembelajaran seni khas tersebut untuk tetap hidup.
Penulis menemukan kesenian sintren dimainkan di wilayah Bojong, Kabupaten Pekalongan. Saat itu sintren sedang ngamen berkeliling dikawasan tersebut. Mereka mengandalkan rupiah dari kerelaan penonton yang mengerubuti arena sintren dimainkan selebihnya hanya uang saweran yang menjadi andalan peng hasilan penari-penari perempuan belia dan para kru untuk tetap semangat mela ngkahkan kaki berkeliling menjajakan sintren.
Aroma mistis menyeruak saat tangan-tangan keriput memainkan musik gamelan dengan sound sistem seadanya dan kurungan kain yang akan menjadi anti klimaks dari ritual kesenian sintren mulai dipersiapkan. Hampir semua penabuh gamelan berusia uzur, hanya sang penari yang berusia belia karena laksana tayub, lewat kelincahan gerak dan gemulainya tubuh sang penarilah yang akan menarik minat para lelaki untuk memberikan saweran dengan cara menari bersama mengikuti ritme alunan gamelan bertempo rancak.
Dipercaya, sang penari yang sudah dimasukan kedalam kurungan kain akan kerasukan roh bidadari. Tubuh sang penari akan bersolek sendiri tanpa sang penarinya menyadari. Aktifitas mistis selama sang penari dalam kurungan kain menjadi hal yang ditunggu, rasa penasaran penonton akan terjawab saat sang penari keluar dari kurungan dalam keadaan sudah bersolek cantik dan penaripun siap beraksi dengan tarian yang konon mampu menarik minat penonton laki-laki baik tua maupun muda untuk ikut menari.
Hanya saja ada aturan tersendiri yang sudah menjadi bagian dari kearifan lokal, penonton yang ikut menari bersama dilarang menyentuh tubuh sang penari. Penonton diperbolehkan menari bebas sekalipun itu dengan gaya sedikit erotis namun larangan tersebut jangan sampai dilanggar.
Kalaupun ada yang coba-coba melanggar maka sang penari akan jatuh pingsan pertanda bidadari yang merasuki tubuh sang penari telah pergi. Yang unik, penari sintren tadinya pingsan bisa kembali sadar dan terasuki kembali roh bidadari bila sang pawang telah mengasapi muka sang penari dengan asap dupa dalam wadah sang pawang.
Dikisahkan, kisah kasih asmara antara seorang gadis bernama sulasih dengan Raden Sulandono putra dari Bahurekso dan Dewi Rantamsari tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Kecewa dengan dengan kedua orang tuanya, Raden Sulandono memutuskan untuk pergi menyepi dengan bertapa di suatu tempat sedangkan sulasih sedih ditinggal pergi kekasinya tersebut akhirnya memilih menjadi seorang penari.
Melihat putranya pergi membawa kesedihan dan kekecewaanya dalam pertapaanya, secara diam-diam Dewi Rantamsari, ibunda Raden Sulandono mengatur pertemuan kedua sepasang kekasih yang telah terpisahkan tersebut dengan melalui pertemuan ghaib.
Dengan menggunakan kesaktianya, Dewi Rantamsari memasukan roh bidaari kedalam tubuh Sulasih yang sedang menari sementara pada saat yang sama roh dari Raden Sulandono dipanggil pula untuk hadir menemui kekasihnya Sulasih yang sudah terasuki roh bidadari.
Dari kisah pertemuan ghaib antara roh raden Sulandono dengan Sulasih yang sudah terasuki roh bidadari itulah masyarakat pesisiran Pekalongan dan sekitarnya mengenal seni Sintren dan sejak saat itu tarian sintren yang dibawakan oleh penari sintren akan terasuki roh bidadari.
Kendati ada banyak versi tentang legenda sintren, namun apapun versinya kesenian sintren terlanjur legendaris bagi masyarakat yang tersebar di kawasan pesisir pantura barat Jawa Tengah. Dan sekarang kesenian tersebut mulai menggeliat kembali dan agaknya semangat untuk menghadirkan lagi kesenian sintren oleh kelompok masyarakat pegiat seni sintren di Bojong patut kita apresiasi meskipun tidak mudah tapi sudah melakukan langkah awal untuk mengakrabkan kembali nostalgia sintren di kalangan generasi sekarang.
Ditemui di arena pertunjukan sintren, Suyono, lelaki tua yang susah mengingat umurnya yang jelas sudah kepala tujuh lebih, mengatakan, dirinya sejak muda sering menonton sintren dan selalu memberi saweran saat ikut menari.
Sumber: Google.com
Sumber: Google.com
Komentar
Posting Komentar